Sudah hampir 2 bulan semenjak pertemuan pertama itu. Sudah hampir 2 bulan pula rasa itu tetap sama. Entah, bisa dibilang “amazed” yang berlebihan. Bagaimana bisa seseorang mengalami perasaan yang luar biasa hanya karena tatapan matanya, melihat cara ia berjalan, dan mendengar ia berbicara dalam waktu yang singkat? Dia, orang yang bahkan tak mengenalku, atau bahkan mengingatku pun tidak. Dia, yang notabene anak gaul Jakarta, yang menuntut ilmu di sebuah sekolah bergengsi nusantara telah berhasil mencuri perhatianku. Tak hanya perhatian, dia telah behasil memasuki dunia malamku, dunia mimpiku tanpa ketok pintu. Dia juga telah memaksaku untuk menjadikannya tokoh utama dalam theater of mindku. Dia, hanya dia orangnya.
Untuk kedua kalinya aku berhasil menemuinya. Perjalanan 2 jam menuju venue tak membuatku patah arang untuk hanya sekedar melihatnya. Namun, perjalanan tak semulus yang terkira. Butuh waktu cukup lama untuk mengendus keberadaannya. Alhasil gelar “wind mill boy” aku anugrahkan kepadanya karena memang ia layaknya kincir angin yang tak pernah jenak berdiri dan duduk diam. Selalu berusaha bergerak dari tempat satu ke tempat lainnya. Seperti tenaganya tak pernah habis untuk sekedar berjalan-jalan tak tentu arah ke sana kemari. Dan hal itu pula yang membuatku juga tak patah semangat untuk mendapatkan kesempatan menyapa, berbicara atau bahkan berjabat tangan dengannya. Ke manapun ia berjalan, seakan kaki ini akan terus mencari jejaknya untuk diikuti. Dan betapa Tuhan menyayangiku, sempat aku kehilangan jejaknya, namun tak disangka, aku mendapatkan kesempatan itu. Menyapa, berbicara, dan berjabat tangan dengannya. What the! I can catch his eyes AGAIN! Membalas senyum manisnya, mendengar suara beratnya, dan pastinya menjabat tangannya.
Dialog yang sangat amat singkat tersebut seperti guyuran hujan di kemarau panjang yang tak usah ditanya, membuatku berbunga. Percaya atau tidak, di tengah-tengah teman-teman yang pulas di perjalanan pulang, aku tak bisa sedikitpun memejamkan mata. Rasa lapar serasa hilang. Malahan, aku cuma bisa ketawa-ketiwi mengingat kejadian yang baru saja aku alami.
Itu pertemuan keduaku yang kira-kira sudah sebulan yang lalu. Biasanya yang terjadi pada seseorang yang hanya mengagumi seseorang yang tak ada kelanjutan komunikasinya adalah perlahan bisa melupakannya. Tapi tidak untukku kali ini. Perasaan ini masih sama. Aku yang mengaguminya dan ingin mencoba mengenalnya. Kadang aku tersadar bahwa dia itu unreachable. Hanya jauh dalam angan, hanya sebuah mimpi yang berpeluang sangat kecil untuk diraih. Dia, seseorang yang tak pernah tau bahwa di sini ada seseorang yang mengaguminya, yang ingin mengenalnya lebih jauh.
Andai saja, ia melihat gerhana bulan kali ini. Aku ingin ia tahu bahwa eclipse kali ini seperti cerminan hati ini yang mulai merapuh karenanya. Bulan yang awalnya bulat, kemudian menghilang dan akhirnya muncul perlahan dari mulai sebesar thumbnail hingga bulat utuh seperti semula. Hatiku yang utuh sempat menghilang kau curi. Dan aku berharap kau jugalah yang mampu mengembalikannya utuh, perlahan, namun bahagia di akhir cerita. Utuh dan mampu menerangi malam yang bertabur bintang.
Ya, semoga sang rembulan di atas sana mau membantuku menyampaikan bisikan hati ini kepadamu. Tepat sasaran di lubuk hatimu. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar