8 missed calls
19 messages
Tulisan itu yang tertera di layar HPku saat kumulai membuka mataku. Deretan nama teman-temanku memenuhi inboxku. Isi pesan mereka sama, memberi ucapan selamat ulang tahun padaku. Ya, hari ini memang hari ulang tahunku yang ke-16. Kebetulan juga hari ini dapat jatah libur dari sekolah karena selama 4 hari ke depan sekolah digunakan untuk Uji Coba UN untuk anak kelas 3. Itu artinya, aku bisa berleha-leha dan have fun di hari jadiku ini. Duh, senangnya.
Ku baca pesan dari sahabatku Allen.
Heh Athena Pramudya Anzani keboo! Lu gue telfon nggak diangkat mulu? 5x nggak ada jawaban. Udah dibela-belain bangun jam 12 malem juga. Dasar! Yauda deh , yang jelas happy b’day ya? Be the best! Kalo udah bangun buruan bales! =)
Aku nyengir baca sms dari dia. Emang sih, tidurku nyenyak banget. HP bunyi berkali-kalipun nggak kugubris. Dan sesuai perintah, ku balas sms darinya.
Maaf dech Falleno Dirgantara. =) .
Thanks anyway. Kadonya mana?
Iya iya, ntar gue ke rumah loe. Ntar gue info lagi.
Setelah membalas pesan dari teman-teman, ku beranjak menuju kamar mandi. Saat membuka pintu kamar, ku dapati wajah mungil adik kecilku yang berumur 4,5 tahun membawa kue ultah dengan angka enam belas menyala di atasnya. Kakakku, ayah dan mama berdiri di belakangnya dengan senyum merekah.
“Happy birthday kakakku yang cantik. I love you… mmuaach!” kata si “bonus”, adikku sambil memonyongkan bibirnya.
“Makasih sayang… Love you too” jawabku sambil menciumnya.
Pagi ini menjadi pembuka catatanku yang penuh senyum bahagia. Selepas sarapan spesial bersama keluargaku, aku mandi dan bersiap diri kalau-kalau Allen datang. Rasanya nggak nyaman, kalau tahu-tahu dia datang sedangkan aku masih pakai baby doll seperti ini. Setelah semua beres aku keluar kamar dan memutuskan untuk menunggunya dengan sedikit bersantai di ruang TV. Rumah sudah sepi, tinggal ada Zorra si “bonus” yang masih ribet dengan sepatunya dan mama yang setia mendampinginya. Dia memang yang paling ribet kalau mau berangkat sekolah. Semuanya yang ia pakai harus berwarna sama. Dari mulai ikat rambut sampai sepatu harus senada. Kadang jengkel juga liat itu bocah tiap pagi. Tapi mama bilang, si Zorra emang cerminanku waktu kecil. Udah sok ngerti fashion dan bawelnya minta ampun. Jadi ya aku cuma ketawa kalau lihat dia bertingkah sambil nginget kata-kata mama.
Dering HPku menggugah lamunanku. Ku lihat nama Allen muncul di layar HP.
“Iya Len. Loe di mana? Buruan ke rumah gue!” aku mulai nerocos.
“Sabar nape? Gue lagi mau jalan. Udah mandi kan loe? Ogah aja kalau sampai gue datang loe masih blepotan iler.”
“Iiuuhh..sorry ya. Gue udah cantik donk.”
“Wah, jadi dandan cantik buat gue ya? Jadi terharu.” Allen kepedean.
“Ih, PD ! Udah buruan tancap. Gue tunggu. Da…” aku mengakhiri telefon.
Allen mulai menyalakan motor berbody gedenya dan melaju dengan kecepatan tinggi. Jiwa balapannya terpacu saat ia bertemu seseorang yang tiba-tiba mensejajarinya di lampu merah. Orang yang tak dikenalinya itu berlagak menantang dengan menggas-gas motornya. Bak arena balapan, lampu hijau menandakan mulainya pertandingan. Jalanan yang ramai menjadi arena balap untuk kedua orang tak saling kenal ini. Awalnya, balapan berjalan mulus dengan Allen memimpin di depan, sampai ada sebuah mobil dengan arah berlawanan melanggar jalur dan melaju kencang di depan Allen. Tak bisa dihindari kecelakaanpun terjadi. Orang yang menantangnya tadi langsung pergi entah ke mana. Sedangkan Allen terbujur bersimbah darah tak sadarkan diri. Tak selang berapa lama, polisi, ambulance dan para warga mengerumuni TKP. Sopir mobil diamankan untuk pemeriksaan lebih lanjut, sedangkan Allen dibawa ke rumah sakit terdekat.
Di rumah, aku kembali tertidur di depan TV karena lama menunggu Allen tak kunjung datang. Padahal biasanya untuk menuju ke rumah, dia hanya perlu waktu 25-30 menit. Tapi ini sudah hampir dua jam dan tak ada kabar. Aku mulai khawatir. Namun, kekhawatiranku mereda karena dering HPku berbunyi dan nama Allen tertera lagi. Ku angkat telepon darinya, tapi aku tak mendengar suaranya melainkan suara mamanya. Ku dengar dia terisak, tapi aku masih tak tau apa yang terjadi. Sampai akhirnya, dia memintaku untuk datang ke RS. Melia karena Allen kecelakaan. Pikiranku kacau sekaligus merasa bersalah. Aku merasa, kecelakaan ini salahku, karena kecelakaan ini terjadi saat Allen sedang menuju ke rumahku. Tapi aku harus segera ke rumah sakit menemuinya. Ku minta mbak Sari, yang biasa bantu-bantu mama mengantarku ke rumah sakit.
Aku masih tak tenang. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung berlari menuju UGD. Karena ku fikir Allen masih ditangani di sana karena baru saja masuk. Tapi aku tak menemukannya. Setelah bertanya, ku diberi tahu bahwa dia sudah dibawa ke ruang operasi dan sedang menjalani operasi otak kecil. Perasaanku semakin kalut. Dengan napas terengah-engah, aku berlari menuju ruang operasi. Dari kejauhan, nampak Tante Sarah, mama Allen duduk didampingi Om Surya, papanya. Ku lihat dokter keluar dari ruang operasi dan mengatakan sesuatu pada mereka. Tante Sarah berteriak dan menangis sekuat tenaganya. Aku tak mendengar apa yang dikatakan dokter padanya, tapi aku menangkap sinyal buruk dari apa yang aku lihat. Tubuhku lemas tak berdaya, air mata yang sedari tadi terbendung, kini tumpah. Pandanganku kabur lalu aku terjatuh dan tak ingat lagi.
Saat kubuka mata, aku tlah berada diruangan yang sepertinya aku kenal. Di sampingku ada mama dan Kak Dinka, kakak Allen memakai baju hitam-hitam dan matanya sembab. Tak tau seberapa lama aku pingsan, hinga akhirnya aku sudah berada di tempat yang kusadari adalah kamar Allen.
“Mah, Allen mana?”
“Sabar ya sayang? Allen udah tenang di sana.” jawab mama terisak.
“Tapi tadi Allen janji mau kasih kado ke Thena. Apa ini kado dari dia? Dia kok jahat banget sih ma, pergi gitu aja ninggalin Thena?” air mataku tak tertahankan.
“Dia lebih milih Tuhan sayang. Karena, sekarang dia udah nyaman ada di sisi Tuhan. Dan kamu nggak boleh menghalanginya. Kamu mau nganter dia sampai ke tempat terakhirnya kan?” mama menjawab pertanyaan bodohku dengan bijak. Dan kujawab dengan anggukan.
Hatiku miris melihat orang-orang membawanya dalam peti. Ini terlalu cepat pikirku. Dengan langkah lemas, ku mengantarnya dengan senyum yang kupaksakan. Hatiku belum ikhlas melepasnya pergi. Hinga akhirnya bunga terakhir, setangkai mawar putih yang biasanya dia berikan padaku sebagai tanda persahabatan kami, kuletakkan di pusaranya. Setelah pemakaman selesai, aku kembali ke rumahnya.
“Dek, aku tahu ini berat banget buat kamu. Buat kami juga. Aku nggak nyangka dia yang tadi pagi ketawa bahagia mau ngasih kado ke kamu, kini harus pergi. Tapi, jangan pernah beranggapan dia kecelakaan gara-gara kamu. Ini udah jalan yang Tuhan pilih buat dia. Ini aku temuin di tas dia. Aku yakin ini semua buat kamu.” kata Kak Dinka sambil memberikan bunga mawar putih, dua batang coklat, dan dua buah kaset CD.
Aku beranjak menjauh dan menyendiri di kamar Allen. Aku ingin memutar kaset ini di kamarnya agar kurasakan kehadirannya. Aku mulai memutar videonya. Di dalam video itu, Allen berdiri dengan senyum yang kurindukan. Dan ia mulai berbicara…
“Hai Thena,,, happy birthday ya? Gue harap hari ini jadi salah satu hari terbaik loe. Lewat video ini, gue mau ungkapin isi hati gue ke loe. Terserah loe mau ngomong gue cemen atau apalah gara-gara gue nggak berani ngomong ke loe. Karena gue nggak bisa serius kalau ngomong langsung ke loe. Ya, loe tahu sendiri kan gue orangnya clometan kayak gini. Tapi hari ini gue ingin loe tahu kalo sebenarnya gue sayang dan cinta ke loe. Lama sahabatan sama loe bikin gue sadar sayang ini nggak cuma sayang biasa, tapi udah jadi cinta. Ya, kayaknya Zigas itu terinspirasi dari gue sampai bisa bikin lagu ‘Sahabat jadi Cinta’. Hhahha…”
Air mataku menetes deras tak berhenti. Bantal papan catur milik Allen basah karena menampung air mataku. Ku kembali ke video dan masih mendengarkannya.
“Eh, kebayang nggak ya kalau status sahabatan kita berubah jadi pacaran? Hhe.. ya gue harap sih kayak gitu. Satu lagi ! Gue nyiptain beberapa lagu buat loe. Di kaset yang satunya. Jangan lupa didengerin ya? Original dari gue dan Cuma diproduksi satu buat loe. Buruan di play! Dan gue tunggu jawaban dari loe. Love you Athena Pramudya Anzani.”
Rasanya mataku sudah membesar dan memerah. Dengan air mata yang belum bisa berhenti, kuberanjak mengganti kaset yang direkomendasikannya. Segera mengalun nada indah dari sebuah piano klasik. Nada-nada yang dihasilkan semakin menyayat hati. Apalagi suara merdu Allen menyusul dan membuatku makin larut dalam tangis.
Ku ingin selalu bersamamu
Merasakan rintik hujan jatuh di wajahku
Mendengar para bintang bernyayi merdu
Sungguh ku ingin bersamamu
Hingga habisnya hidupku
Karena ku ingin kau tahu
Bahwa aku mencintaimu
Barisan kata yang membentuk harmoni nada tadi menjadi kado terakhir darinya untukku. Ungkapan rasa cintanya juga jadi kado spesial bagiku. Tapi kini terlambat, dia sudah tenang di alam sana. Namun, aku yakin dia masih di sini menemaniku. Hingga kuberanikan diri berkata,
“Len, gue tahu loe di sini. Gue tahu loe akan selalu ada di sisi gue. Nemenin dan ngejagain gue. Awalnya gue benci sama loe, kenapa loe pergi secepat ini? Loe tega ninggalin gue tepat di hari ulang tahun gue. Loe jahat Len! Tapi, kini gue sadar, ini bukan keinginan loe. Ini rencana Tuhan. Len, perlu loe tahu, sebenarnya gue juga cinta sama loe. Tapi gue nggak pernah bisa jujur ke diri gue sendiri. Gue selalu menampik dan ngeyakinin kalau rasa sayang ini cuma sebatas sayang ke sahabat. Tapi nyatanya, semakin gue mengelak rasa ini makin menjadi. Gue bakal jaga cinta loe ini sampai gue mati. Sampai gue ketemu loe di surga nanti dan bilang ke loe kalau gue juga cinta sama loe, Falleno Dirgantara.
Karena malam semakin larut, kuputuskan untuk menginap dan tidur di kamar Allen. Dalam tidurku, ku berharap dia datang ke mimpiku untuk sekedar mengucapkan kata perpisahan yang belum sempat ia ucapkan.
*Sebenernya ni cerita gw tulis buat menuhin tugas dari bu Mulyani, guru Bahasa Indonesia. hhee... ya, semoga beliau tersanjung tugas buat beliau gw cantumin ke blog gw. hhaa... =D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar